grebeg maulud

KabarIndonesia - Suatu kebetulan yang indah. Kenapa? karena upacara Grebeg Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun ini bertepatan dengan perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW. Peristiwa kebudayaan sekaligus keagamaan tersebut berlangsung meriah. Ribuan masyarakat, termasuk turis-turis mancanegara, rela berdesak-desakan tersengat terik mentari di Alun-alun Utara Yogyakarta pada Senin 9/3 silam.

Menurut pengamatan penulis, daya tarik utama Grebeg Maulud ialah pada iring-iringan Gunungan Lanang, Wadon, Gepak, Pawuhan, dan Dharat. Dalam tradisi Kejawen, Gunungan merupakan simbol hubungan harmonis antara bumi, langit, air, api, angin, tanah, dan ruang angkasa. Serta seluruh isinya, tumbuhan, hewan, dan manusia yang notabene terdiri atas pelbagai suku, agama, ras, golongan, dan kebangsaan.

Leluhur kita tak hanya berhenti pada konsep multikulturalime dan slogan, "Bhinneka Tunggal Ika-Tan Hana Dharma Mangrwa" tapi sungguh mempraksiskannya dalam keseharian ziarah hidup. Bahkan mampu menyimbolisasikannya secara apik lewat bentuk Gunungan/Tumpeng.

Kelima Tumpeng tadi diarak dari dalam Keraton melintasi Siti Hinggil dan Pagelaran Kraton menuju halaman Masjid Gede Kauman, Yogyakarta. Tapi ada satu pengeculian. Khusus Gunungan Wadon dibawa sebagai persembahan dari Ngarso Dalem Hamengku Buwono X kepada Sri Paku Alam IX.

Iringan Gunungan tersebut dikawal oleh sembilan pasukan prajurit keraton, antara lain prajurit Wirobrojo, Ketanggung, Bugis, Daeng, Patangpuluh, dan Nyutro. Mereka berseragam warna cerah, membawa aneka instrumen musik, seperti tambur, suling, dan ketipung serta tak lupa menenteng senjata tombak, keris ataupun senapan kuno. Empat ekor gajah dan beberapa pasukan berkuda turut mengamankan, menertibkan penonton sekaligus memeriahkan perayaan tersebut.

Sebagai puncak prosesi Grebeg Maulud, Gunungan yang terbuat dari sayur-sayuran, kacang, cabai merah, ubi dan aneka hasil bumi lainnya itu diperebutkan (rayahan) oleh masyarakat. Kenapa? karena kawulo alit meyakini itu bisa membawa berkah. Tentu setelah didoakan bersama.

Menurut hemat penulis, salah satu pesan penting dalam perayaan Grebeg Maulud ialah untuk menjadi ksatria utama, yakni dengan meneladani suri tauladan dari kehidupan Sang Baginda Rasul. Apa sajakah itu? Berikut ini ulasannya. tentu dilihat dari perspektif wong Jowo.

Menurut tradisi Kejawen, para lelaki selaku kepala rumah tangga bertindak laksana nahkoda kapal. Ia yang menentukan ke arah mana kapal itu berlayar. Apakah kelak akan berlabuh di pantai keputus-asaan ataukah di pantai kebahagiaan sejati?

Ada lima hal yang perlu diperhatikan oleh kaum pria, sehingga bisa menyongsong masa depan secara gemilang, yaitu 1. Wismo, 2. Turonggo, 3. Kukilo, 4. Curigo, dan 5. Wanito.

1. Wismo

Bila sebuah keluarga tidak mempunyai rumah maka mereka harus ikut orang lain, misalnya dengan menumpang di pondok mertua indah ataupun mengontrak rumah. Konsekuensi nebeng di rumah orang ialah kebebasan rumah tangganya sedikit terganggu dan kurang bisa leluasa.

Tak hanya itu, penghasilan bulanan juga terpangkas, karena harus menyisakan sebagian dana untuk membayar uang sewa ataupun sekedar memberi "bingkisan" terimakasih.

Pepatah lama mengatakan, "Rumahku istanaku." Di dalam bahasa Indonesia, "Wismo" berarti tempat tinggal atau rumah. Kebutuhan primer ini menjamin terciptanya suasana damai sekaligus tempat berteduh bagi para anggotanya.


2. Turonggo

Pada jaman dahulu, sebelum ada penemuan transportasi modern, manusia melakukan perjalanan jauh dengan menunggang kuda. "Turonggo" artinya kuda, pada jaman sekarang sinonimnya adalah kendaraan. Seperti sepeda, sepeda motor, mobil, kapal laut atau bahkan pesawat terbang.


3. Kukilo

Burung yang mengeluarkan bunyi-bunyian renyah enak didengar itulah makna harfiah "Kukilo". Tapi saat ini umumnya orang menggantikan bunyi-bunyian burung berkicau tersebut dengan bunyi-bunyian lain, yakni dalam bentuk musik dari Radio, Tape Recorder, TV, VCD, MP3, dan lain-lain.

Segala bentuk bunyi-bunyian tadi dapat memeriahkan suasana rumah. Orang yang tinggal di dalamnya merasa terhibur dan tak kesepian lagi, sehingga mereka menjadi betah berlama-lama di rumah.

Tak hanya itu, dengan musik kebahagiaan hidup sungguh terasa, karena menurut penelitian dr. Masaro Emoto, musik amat berpengaruh pada suasana hati manusia. Hal itu tercermin dalam bentuk kristal hexagonal pada molekul air (H20). Bukankah 70 persen elemen tubuh manusia juga terdiri dari cairan?

Barangkali itulah sebabnya mengapa dahulu Bung Karno membatasi penyebaran musik "ngak-ngek-ngok" karena bisa memadamkan semangat revolusi kemerdekaan. Yang disebarluaskan ialah lagu-lagu "mars" perjuangan, misalnya, "Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau...
sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia!"


4. Curigo

Artinya keris, sebagai senjata untuk mempertahankan hidup bagi orang jaman dulu. Senjata di jaman sekarang tentu lain bentuknya, karena konteks dan kebutuhannya pun berbeda.

Agar dapat bertahan hidup, orang harus makan. Untuk bisa makan, orang harus mendapatkan penghasilan, dan untuk mendapatkan penghasilan, orang harus bekerja.

Sekedar contoh, petani mata pencahariannya dengan bersawah, senjatanya adalah cangkul untuk menggarap tanah. Penulis sumber penghasilannya ialah honor dari penerbit atau media massa, oleh sebab itu senjatanya ialah laptop dan flash disk.


5. Wanito

"Wanito" ialah pendamping laki-laki. Setelah diresmikan secara sipil maupun agama barulah mereka disebut suami-istri. Dalam pepatah Jawa dikatakan bahwa istri itu, “Suargo nunut neroko katut.“ Artinya, “Surga menumpang neraka ikut. “

Dalam konteks ini, laki-laki memikul tanggung jawab besar dalam keberlangsungan hidup rumah tangga, baik dalam suka maupun duka. Oleh sebab itu, istri sebagai pendamping perlu mendukung suaminya.

Emansipasi memang menjamin persamaan hak antara wanita dan pria, tetapi masing-masing harus tetap menyadari peran dan fungsinya, yakni saling bekerjasama membesarkan dan mendidik anak-anaknya.

Akhir kata, begitulah sepenggal refleksi penulis atas prosesi Grebeg Maulud 2009 lalu. Intinya, peristiwa kebudayaan dan keagamaaan semacam ini perlu terus kita lestarikan. Baik oleh masyarakat, Kraton, pemerintah, bahkan pihak swasta sekalipun, karena prosesi tersebut bukan sekedar ritual yang kering tanpa makna, namun sungguh mengandung pesan kehidupan yang adiluhung dan migunani bagi generasi muda. Rahayu! (*)

0 komentar:

Posting Komentar